Thursday, April 28, 2022

Life in The Netherlands, Australia, and Japan

 Penulis: Reniati Utami, Mita Astari Yatnanti, Angga Ardiyansyah

Tulisan ini bermula dari postingan sebuah akun Instagram yang sering mengulas arsitektur dan desain interior hunian selebritis dengan menyelipkan sense of humor ala anak muda. Pada satu reviu terhadap rumah pasangan artis di bilangan selatan Jakarta yang didesain dengan nuansa Amerika nan megah dan estetik, mereka terkesan ‘disagree’ dengan keberadaan sebuah toren air berwarna orange bergambar pinguin yang berdiri angkuh di dak atap yang seakan tidak sejalan dengan konsep hunian ala Amerika yang diusung.

Jujurly, kami tergelitik melihat postingan toren air tersebut. Kenapa di Indonesia masih banyak rumah yang menggunakan toren air, bahkan di hunian elite sekalipun? Sedangkan di Belanda atau Jepang, toren air semacam itu hampir tidak akan ditemukan di sudut hunian manapun. Dari postingan toren air itu kami terdorong untuk mengeksplorasi lebih jauh. Hal-hal apa yang ada di Indonesia dan tidak bisa kami temukan di Belanda/ Jepang/ Australia? Atau sebaliknya, hal-hal apa yang kami temukan di Belanda/ Jepang/ Australia tetapi tidak bisa kami temukan di Indonesia? And why does that happen? 

1. Toren Air

Di Brisbane, pemerintah negara bagian Queensland sempat mewajibkan pemilik rumah baru melakukan pemasangan toren air. Toren ini menjadi bagian dari rainwater harvesting system yang dipakai untuk berbagai keperluan dari berkebun hingga air minum. Sayangnya, tingginya harga pemasangan dan pemeliharaan menyebabkan kebijakan ini kurang populer dan tidak lagi menjadi kewajiban. Namun, hingga kini masih ada beberapa pemerintah kota yang memberikan rebate (subsidi) hingga 2.000 dolar bagi penduduknya yang ingin melakukan pemasangan toren baru.

Di Belanda, air hujan juga ditampung untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber grey water yang biasanya dimanfaatkan untuk siram tanaman. Di beberapa kawasan, air hujan tersebut bahkan bisa diolah oleh perusahaan lokal independen menjadi sumber air bersih. Tetapi alih-alih menggunakan toren air, rainwater harvesting di Belanda dilakukan melalui kolam-kolam air dan parit (saluran air berukuran besar yang biasanya dapat dijumpai di sebelah jalan raya). 

Tak hanya itu, sistem penyediaan air bersih di Belanda juga sudah terintegrasi dengan baik dan drinkable sehingga hunian disana tidak lagi memerlukan eksistensi sebuah toren air. Meskipun kran air disana didesain untuk air panas dan air dingin (kecuali toilet, mungkin karena disana mereka cukup menggunakan tisu ketika cebok sehingga tidak paham rasanya cebok dengan air es), tetapi pastikan hanya minum air dingin ya, karena air panas yang dihasilkan sudah melalui beberapa proses dan dikhawatirkan tidak layak minum. Tap water di Belanda rasanya dingin dan so fresh, meskipun terkadang untuk refil botol minum saya harus melakukannya di wastafel kamar mandi karena tidak tersedia fasilitas khusus tap water di tempat umum layaknya di Indonesia. 

Sebenarnya sistem penyediaan air bersih terintegrasi sudah ditemui di Indonesia melalui penyediaan PDAM, namun sayangnya suplai jaringan air bersih tersebut belum menjangkau seluruh hunian di pelosok Indonesia. Itupun belum edible ya, tidak bisa diminum langsung dari keran. Tidak heran jika di rumah-rumah elite sekalipun masih ditemui galon-galon air berbaris rapi yang digunakan sebagai sumber pasokan air bersih. 

2. Heater ruangan

Di negara 4 musim seperti Belanda, heater ruangan menjadi suatu hal yang wajib ada jika tidak ingin membeku ketika musim salju tiba. Beberapa hunian eksklusif disana bahkan dilengkapi dengan pemanas lantai yang bisa menyala otomatis ketika suhu ruangan turun di bawah suhu normal. Heater ini terinstal pada tiap-tiap ruangan, dan untuk ruangan yang lebih besar maka jumlah heater yang disediakan akan lebih banyak atau memiliki dimensi yang lebih luas. Heater ini biasanya berbahan baku gas dan terintegrasi dengan kompor gas sehingga di Belanda saya tidak perlu repot-repot mencari gas melon apalagi gas 12 kg karena memang tidak dijual di warung.

Sumber: www.forbes.com

Berbeda dengan Belanda, hampir seluruh peralatan rumah tangga ditenagai oleh listrik di Australia. Ini termasuk kompor, pemanas air dan pemanas ruangan. Jadi, jangan kaget ketika musim dingin tiba, tagihan listrik dan air yang datang setiap tiga bulan dapat melonjak 4-5 kali dibanding tagihan di musim lainnya.

Seperti di Australia, di Jepang pun pemanas ruangan kebanyakan menggunakan tenaga listrik. Di tempat saya tinggal dulu, peralatan heater-nya menjadi satu kesatuan instalasi dengan sistem AC. Seperti dispenser hot and cold, satu alat namun memiliki dua kegunaan. Jadi ketika musim panas dan suhu terasa panas, tinggal setting alat menjadi pendingin ruangan. Ketika musim dingin tiba, setting pemanas ruangan pun tinggal diatur dari remote control. Tak beda jauh dengan pengalaman di Australia, tagihan listrik ketika musim dingin bisa melonjak drastis akibat penggunaan heater.

Bepergian di Jepang pada musim dingin? Tidak perlu khawatir. Jepang termasuk negara yang sangat concern dengan hal-hal yang cukup detail. Di musim dingin, AC di dalam kereta di-setting menjadi heater. Tak hanya di dalam kereta, di dalam stasiun dan di toko-toko serta mall-mall pun pemanas ruangan diaktifkan untuk kenyamanan pengunjung. 

3. Transportasi terintegrasi 
Sebagai salah satu negara bagian terluas di Australia, penduduk disana hampir dipastikan memerlukan kendaraan pribadi sebagai opsi utama moda transportasi. Pemandangan dimana satu garasi rumah diisi 2 buah kendaraan atau lebih merupakan hal yang lumrah. Bahkan, fenomena street parking bukan hal ilegal di lingkungan perumahan sana (sebuah hal yang mustahil rasanya di Belanda karena jalanan disana benar-benar parking free, dan setiap hunian dan tempat umum disana sudah disediakan kantong-kantong parkir, lengkap dengan mesin bayar otomatis pada lokasi tertentu). Bagi orang Indonesia, kenyataan bahwa kita tidak perlu membuat SIM internasional untuk bisa berkendara di sana adalah satu hal yang menyenangkan. Ini karena SIM Indonesia diakui di Australia dan kita hanya perlu membawa salinan terjemahannya di dalam laci mobil.

Jika berbicara tentang transportasi umum, sistem transportasi publik di Brisbane mengintegrasikan bus, kereta, dan ferry dalam satu sistem yang disebut translink. Jadwal dan armada bus nya pun sangat bisa diandalkan. Satu hal yang sangat membantu ketika menggunakan transportasi publik di sana adalah fitur perencanaan perjalanan translink, di situ kita bisa merencanakan perjalanan dengan memasukkan waktu keberangkatan yang direncanakan dan sistem akan menginformasikan waktu keberangkatan, durasi perjalanan, hingga jarak yang harus ditempuh untuk berjalan dari satu halte ke halte lainnya. Memilih rute dan jam keberangkatan sangat penting, karena pemilihan jam yang salah bisa menyebabkan kita harus berjalan hingga 800 m hanya untuk berpindah dari satu halte ke halte lainnya atau menempuh waktu perjalanan hingga berjam-jam. Yang mana kalau memilih rute dan waktu yang tepat, bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam.

Berbeda dengan Australia, di Belanda sepertinya tidak banyak orang yang menggunakan kendaraan pribadi. Terbukti dari lengangnya jalanan di Wageningen (kota kecil tempat saya mengenyam pendidikan) hampir di setiap saat hingga penduduk disana mungkin tidak mengerti merananya terjebak macet karena rumitnya sistem transportasi di Indonesia. 

Maklum, Belanda merupakan negara kecil yang sistem transportasi publiknya sudah terintegrasi dengan sangat baik. Untuk memanfaatkan transportasi publik tersebut, cukup dengan mengakses 9292 di aplikasi gawai ataupun website untuk mengetahui bagaimana caranya menuju suatu lokasi dengan menggunakan moda transportasi lokal di sana (bus, kereta api dan tram) yang dilengkapi dengan nama halte yang perlu dituju, waktu kedatangan (real time!) serta biaya yang harus dipersiapkan untuk perjalanan tersebut. Bagi warga asing seperti kami, aplikasi ini sangat membantu dalam mengeksplorasi kota-kota di Belanda yang sudah terkoneksi dengan baik moda transportasinya. 

Untuk dapat menggunakan transportasi publik tersebut, kita perlu membeli OV chipkaart yang bisa dibeli secara online melalui website www.ov-chipkaart.nl. Kartu ini bisa dipersonalisasi dengan menambahkan foto dan data diri kita (yang juga bisa digunakan sebagai salah satu identitas diri ketika dilakukan pengecekan oleh petugas di dalam kereta. Ya, berjalan-jalan di Belanda wajib membawa kartu identitas diri jika tidak ingin ditilang ketika dilakukan pemeriksaan), atau bisa juga dibuat general. Jika kartu personal tidak bisa dipindahtangankan ke orang lain, maka kartu general bisa kita jual kembali ketika tidak lagi diperlukan. Cara pengisiannya pun relatif mudah. Bisa dilakukan melalui website, menggunakan mesin khusus yang tersedia di terminal atau stasiun, ataupun via ATM dan supermarket terdekat. 

Jika kereta berhenti pada tiap stasiun, maka bus dan tram hanya berhenti jika penumpang memberi isyarat dengan berteriak ‘kiri bang!’ menekan tombol yang disediakan di beberapa titik di dalam bus. Jika kita lupa menekan tombol, maka bus tidak akan berhenti dan kita terpaksa berhenti di halte berikutnya. Pada saat naik dan turun dari moda transportasi publik itu, kita harus mengetap kartu OV chipkaart ke dalam mesin yang tersedia di dekat pintu masuk. Pastikan saldonya cukup ya!

Bagaimana dengan Jepang? Jangan diragukan lagi. Jalur kereta terintegrasi di Jepang sudah menjadi salah satu keunggulan dan daya tarik wisatawan. Di Pulau Honshu (pulau terbesar di Jepang), pengunjung bisa ber-adventure dari ujung utara hingga selatan dengan menggunakan kereta api. Saya pernah mencoba melakukan perjalanan menggunakan kereta api Japan Railway (JR) dari Tokyo - Kyoto dengan waktu tempuh sekitar 8-9 jam dan harus berganti kereta di beberapa stasiun. Tak hanya berganti kereta, sightseeing di beberapa area bisa menjadi alternatif berpetualang di Jepang. Melihat-lihat lokasi di sekitar stasiun atau mencicipi makanan/snack khas area tersebut bisa menjadi pengalaman sightseeing yang cukup menarik. Sebagai contoh ketika saya melakukan adventure iseng dari Tokyo ke Kyoto, saya mampir ke Nagoya hanya untuk sekedar memenuhi rasa penasaran saya seperti apa kota Nagoya, kota industri dan berpenduduk terbanyak ke-4 di Jepang. Yang membuat saya cukup terkesima, ada satu bangunan unik di sana yang berbentuk spiral. Mode Gakuen Spiral Tower. 

Mode Gakuen Spiral Tower
Sumber : dokumentasi pribadi milik Mita Astari

Biaya yang dikeluarkan untuk ber-adventure menuju Kyoto dari Tokyo dengan kereta JR sekitar ¥8,650 (atau sekitar Rp 951.500,- dengan kurs saat itu di kisaran ¥1 = Rp 110,-) jika membeli tiket biasa tanpa promo. Tiket yang lebih murah tersedia di bulan-bulan tertentu. Dengan harga ¥11,000, penumpang bisa menggunakan 5 (lima) kali tiket tersebut, namun dengan syarat kereta yang digunakan adalah kereta milik Japan Railway. Sepanjang tidak keluar dari peron, penumpang tetap dihitung menggunakan 1x tiket. Tidak perlu khawatir karena kereta ini yang mendominasi mayoritas jalur kereta di Jepang.

Cek jadwal kereta? Mudah saja. Ada beberapa aplikasi yang dapat diunduh untuk melihat jadwal kereta. Namun, dengan Google Maps pun cukup untuk mengecek jadwal kereta. Ketepatan waktu? Jangan ditanya. Kereta di Jepang sangatlah on time, kecuali jika ada kondisi di luar kendali seperti cuaca buruk yang datang tiba-tiba. 

How to buy? Membayar kereta di Jepang bisa dilakukan dengan 2 (dua) alternatif. Dengan kartu elektronik sejenis e-money atau dengan membeli tiket di loket/ mesin yang tersedia di stasiun. Tidak seperti di Indonesia di mana banyak bank menerbitkan e-money dan tidak saling terintegrasi, di Jepang terdapat banyak jenis smart card namun saling terintegrasi. Kita bisa membeli barang atau menggunakan untuk membayar transportasi publik dengan segala jenis smart card dalam satu mesin pembaca. Kalau di Indonesia, masing-masing kartu harus compatible dengan mesin pembaca kartu (1 mesin tidak bisa digunakan untuk membaca kartu keluaran bank lain). Japan smart card (atau lebih dikenal dengan IC card) bisa diperoleh di mesin di setiap stasiun di Jepang. Contoh IC card seperti PASMO dan SUICA yang cukup umum digunakan masyarakat Jepang. Pengguna cukup menukar uang minimum ¥ 500  melalui mesin tersebut sebagai deposit. Yang wow dari sistem kartu ini adalah pemilik kartu bisa menggunakannya juga di supermarket, minimarket, maupun di toko-toko yang menyediakan mesin pembayaran kartu. Jangan khawatir, sudah banyak sekali toko-toko di Jepang yang menyediakan metode pembayaran dengan IC card ini. Lebih lagi, saldo di kartu ini bisa digunakan hingga ¥ 0. Jika pengunjung tidak mau ribet dengan kartu, bisa juga menukar uang dengan tiket kereta sekali pakai. Namun pengguna harus sudah tahu stasiun mana yang akan dituju. Pembelian tiket kereta melalui loket stasiun dilakukan untuk pembelian tiket kereta promo/ paket dan tiket kereta jarak jauh (tanpa transit atau minimum transit) seperti kereta shinkansen.


4. Sewa Mobil Berdasarkan Musim dan Jarak Tempuh
Suatu kali, kami bermaksud menyewa mobil untuk mengantar keluarga adik dan orang tua saya berwisata ke Titlis, Swiss. Ketika menyebut bahwa kami akan bepergian ke Swiss pada musim winter, petugas memberitahukan bahwa mobil yang akan disewa perlu dilengkapi dengan roda khusus winter yang mampu mencengkeram tebalnya salju agar tidak tergelincir, dan ternyata berdampak pada harga sewa yang lebih tinggi dibanding harga sewa mobil yang menggunakan roda biasa. Sebenarnya roda winter ini serupa dengan roda biasa, hanya saja dilengkapi dengan kembangan yang lebih banyak untuk sistem cengkram yang lebih baik. 

Sumber: www.unsplash.com

Sistem sewa mobil yang diterapkan untuk penduduk lokal seperti kami (yang memiliki citizen card sementara) dihitung berdasarkan jarak tempuh. Untuk 100 km pertama akan diberikan secara gratis dengan biaya sewa tergantung jenis mobil dan kapasitas penumpang (sebagai contoh, mobil jenis KIA Picanto dibandrol dengan harga €70 atau sekitar 1 juta rupiah), dan setiap kelebihan 1 km akan dikenai biaya €7. Sebelum kunci diserahkan, kami juga diwajibkan membayar deposito sejumlah kilometer yang akan kami tempuh. Ketika kami menyebut akan bepergian ke Swiss, petugas pun mengkalkulasi jarak tempuh Belanda - Swiss PP dan dibebankan pada pembayaran di muka. Kala itu, kami harus membayar deposito sebesar €500 (sekitar 5 juta rupiah) yang ternyata harus nombok karena kami juga mampir ke Luxembourg dan Belgia sebelum kembali ke Belanda. Jika penggunaan kilometer kurang dari perhitungan deposito, maka selisih uang deposito akan ditransfer kembali ke rekening kita.

Sedangkan untuk turis seperti adik ipar saya yang tidak memiliki citizen card sementara, aturan sewa per jarak tempuh itu tidak berlaku. Alih-alih, adik ipar harus membayar sewa harian yang dihitung secara flat dan ditambah dengan deposito yang harus dibayar di muka yang besarnya sama dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar sewa harian tersebut (misal, harga sewa harian untuk mobil Peugeot 3008 adalah sebesar €100 atau sekitar 1,5 juta rupiah). Jika akan menyewa untuk 3 hari maka wajib membayar deposit sebesar 3 hari juga (total bayar di awal sejumlah 6 hari). 

5. Expanda
Expanda atau lebih dikenal dengan sebutan pintu kawat nyamuk merupakan elemen rumah yang wajib ada di Brisbane. Ini karena musim panas di sana bisa mencapai 40 derajat Celcius dan pintu ini membantu mendinginkan suhu udara dalam rumah. Selain itu, pintu ini membantu menghalangi hewan liar dan lalat agar tidak masuk. Mungkin terdengar sedikit aneh, tapi pada musim tertentu anda akan menemukan banyak lalat berterbangan dan orang-orang berusaha mengusirnya dengan lambaian the great Australian wave. 

6. Farmers Market vs Open Market
Orang Brisbane terkenal sangat menikmati aktifitas luar ruangan dan farmers market merupakan alternatif terbaik untuk bisa menikmati hal itu. Udara pagi yang bersih, tawa ramai orang berkumpul ngopi bareng diantara deretan produk sayur dan buah segar, sambil ditemani live music adalah suasana khas di farmers market. Ini karena farmers market biasanya diadakan dekat ruang terbuka seperti lapangan atau taman kota dan hanya berlangsung hingga siang hari. 

Untuk kami, selain tempat untuk berbelanja kebutuhan produk segar, farmers market merupakan venue untuk berwisata kuliner. Berbagai camilan mulai dari bratwurst ala German, tteokbokki Korea, kofte dan pides Tukri, pad thai Thailand sampai rendang khas Padang bisa kita cicipi di farmers market. Pengalaman berbelanja di pasar sambil berwisata kuliner tentunya sangat berbeda disana karena selain kondisi pasarnya yang rapi dan bersih, barang-barang yang dijual pasti dilengkapi dengan papan harga sehingga membuat kita tidak kerepotan bertanya atau menawar produk yang dijajakan. Salah satu farmer market favorit kami yaitu Davies Park Market di West End. Selain dekat dengan CBD, di musim semi kita bisa menikmati deretan pohon Jakaranda bermekaran ala sakura di Jepang di daerah ini.

Di Belanda, pasar kaget diadakan pada hari-hari tertentu yang biasanya dilakukan di hall balai kota. Di Wageningen misalnya, pasar kaget tersebut diadakan setiap hari Selasa dan Kamis, sedangkan di Delft pasar kaget diselenggarakan setiap hari Kamis dan Sabtu. Meskipun disebut dengan pasar kaget, jangan bayangkan kondisinya seperti pasar kaget yang ada di Indonesia dengan lapaknya yang semrawut serta sampah yang berceceran. Pasar kaget di negeri kincir angin tersebut ditata dengan sangat rapi dan bersih. Kebanyakan kedai penjualnya berupa mobil yang dimodifikasi menjadi mobil berjalan. Jikapun dagangan yang akan didisplay dirasa terlalu banyak (biasanya kedai sayur dan buah), maka pemilik kedai akan meletakkan barang dagangannya tersebut ke dalam boks - boks kayu yang ditata dengan rapi di depan kedainya, dilengkapi dengan harga per item yang biasanya ditulis di atas papan kecil atau selembar kertas. Tidak hanya sayur dan buah, pasar kaget ini juga menjual produk lain seperti seafood segar, keju, kain dan permadani, serta makanan siap saji seperti croissant atau makanan khas Turki. 

Open market di Wageningen, Belanda (sumber: dokumentasi pribadi Reniati)

7. Pengatur Kecepatan Mobil
Jalanan di Belanda dilengkapi dengan pengatur kecepatan yang berbeda tingkatannya. Untuk jalan lingkungan misalnya, kecepatan yang diperbolehkan akan lebih lambat dibanding jalan highway. Pemerintah Belanda tidak main-main dengan aturan tersebut, siapa yang berani melanggar aturan kecepatan tersebut maka bersiaplah menerima surat tilang yang akan dikirimkan ke kotak pos tidak lama berselang. 

Untuk memastikan bahwa para pengendara kendaraan roda empat tidak melanggar kecepatan yang sudah ditentukan, setiap sudut jalan sudah dilengkapi dengan CCTV yang selalu siap memantau 24 jam. Surprise-nya adalah, kendaraan roda empat disana (dalam hal ini mobil yang pernah kami sewa selama tinggal disana) dilengkapi dengan pengatur kecepatan, sehingga ketika melewati jalanan dengan aturan kecepatan yang diizinkan, supir harus menyesuaikan kecepatan maksimum yang diizinkan tersebut dengan menekan tombol pengatur kecepatan yang tersedia di dashboard. Misalkan jika kecepatan yang diperbolehkan adalah 50 km/ jam, maka kecepatan mobil dapat diatur melalui tombol dan mobil pun tidak akan melaju lebih dari kecepatan yang diizinkan. Sayangnya, hal ini berarti menuntut supir untuk benar-benar memperhatikan rambu kecepatan ketika berkendara jika tidak ingin melanggar kecepatan dan mendapat surat tilang yang akan dikirimkan ke rumah jika terbukti melanggar. 

8. WC berbidet
Yang membuat saya nyaman tinggal di apato tempat saya tinggal di Tokyo adalah toiletnya yang bersih dan canggih. Dan inilah yang membuat saya lebih nyaman dan betah sedikit lebih lama di toilet. Mungkin bagi sebagian orang hal ini aneh. But it’s true. Mengapa? 


Pertama karena toilet duduknya dilengkapi dengan bidet yang menurut saya cukup sophisticated. Apa itu bidet? menurut www.merriam-webster.com, bidet adalah ‘a bathroom fixture used in particular for bathing the private area. Cara memakai bidet ini mudah, cukup dengan menekan tombol sesuai kebutuhan. User friendly, yet ergonomic. Ketika akan membersihkan bagian tubuh setelah buang air besar ataupun kecil, cukup dengan menekan tombol untuk buang air besar atau tombol untuk buang air kecil. Perbedaan keduanya adalah sudut shower/semprotan airnya

Kedua, air dan suhu dudukan toiletnya bisa diatur sesuai kebutuhan. Ini sangat membantu ketika musim dingin tiba. Kita bisa men-setting suhu normal sampai hangat. Umumnya ada 5 level tingkatan suhu. So, sambil “setor”, bisa sambil membaca buku favorit kesukaan kita. Bayangkan jika suhu sudah di bawah 0℃ sedangkan air maupun dudukan toiletnya tidak hangat. Brrrrrrr. So, no need to worry ketika di Jepang menemukan toilet dengan teknologi bidet seperti ini terutama di musim dingin.

Ketiga, saat proses buang air besar atau kecil dan mungkin pengguna malu jika suara “setoran” terdengar, maka untuk ‘menyamarkan’ bisa ditekan tombol logo not musik. Secara otomatis mesin akan mengeluarkan suara gemericik air atau bahkan musik.

Dan meski terdapat bidet, toilet di Jepang umumnya berkonsep toilet kering. Maka tisu toilet gulungan besar pun disediakan beserta cadangannya. Uniknya, jika di Indonesia selalu terdapat tulisan larangan untuk membuang tisu di toilet, justru di Jepang diminta membuang tisu ke dalam toilet. Aneh? bagi saya iya karena belum terbiasa dengan hal ini. Tapi justru menurut saya ini mengagumkan dan membuat saya penasaran. Bagaimana Jepang mengelola dan mengolah limbah tersebut bahkan dengan disertai tisu di dalamnya? 
Hal ini juga yang membuat saya reverse culture shock sekembalinya ke Indonesia. Hampir selama 2 bulan saya secara refleks membuang tisu ke toilet di Indonesia. Sorry. Jangan ditiru ya.

9. Area Tematik
Jepang merupakan negara penghasil anime yang sangat produktif, bahkan sampai hari ini. Banyak anime-anime yang sangat terkenal dan sangat lekat dengan kehidupan masa kecil kita. Doraemon, Detektif Conan, Crayon Shinchan, Pokemon, sampai Demon Slayer adalah beberapa anime yang mendunia. Jepang dan warganya sangat mengapresiasi penulis anime-anime tersebut, bahkan dijadikan simbol di beberapa area. Tidak hanya sebatas simbol saja, di beberapa distrik bahkan dijadikan tema dan dibangun museum.

Salah satu contohnya adalah distrik tematik di area Kanagawa. Di Kanagawa, berdiri museum Doraemon yang memamerkan karya Fujiko F. Fujio, pencipta anime Doraemon. Di museum ini pengunjung dapat melihat hasil karya sang penulis dari masa ke masa. Replika pintu ke mana saja dan tumpukan pipa saluran air tempat Nobita dan kawan-kawan pun bisa dinikmati sambil berfoto ria di museum ini. Tak lupa kue dorayaki yang menjadi salah satu daya tarik bagi pengunjung untuk mencicipi di museum ini.

Di salah satu stasiun di area Kanagawa ini, Stasiun Noborito tepatnya, juga mengangkat tema Doraemon. Pengunjung yang sampai di stasiun ini akan disambut dengan patung Doraemon beserta soundtrack anime tersebut. Bus dan kereta yang menuju stasiun ini pun dicat dengan gambar kartun Doraemon dengan berbagai tokohnya.


Jika di distrik Kanagawa mengangkat tema Doraemon, maka di prefektur Totori mengangkat tema anime Conan Edogawa, tepatnya di kota Hokueicho, tempat sang penulis (Aoyama Gosho) lahir. Dari stasiun, jalanan, hingga museum, bertema tokoh kartun detektif ini. Bahkan nama stasiun di kota ini dinamai Stasiun Conan. Yang membuat menarik lagi adalah wisatawan mendapatkan tantangan untuk mengumpulkan stempel-stempel yang tersebar di beberapa pos. Tantangan ini terangkum di buku “Conan Street Stamp Rally” yang bisa didapatkan di stasiun. Pos-pos tempat mengumpulkan stempel ini merupakan toko atau kantor pos yang ada di sana. Ide yang sangat menarik. Selain seru, sambil berfoto-foto dengan patung-patung Conan di sepanjang jalan, wisatawan juga diarahkan untuk melihat-lihat dan membeli produk-produk dari toko-toko tersebut. 


Di Indonesia sendiri area tematik seperti di Jepang mungkin ada namun tak sama. Kebanyakan wilayah masih menonjolkan satu atau beberapa simbol fisik kotanya berupa landmark dalam bentuk fisik seperti monumen, bangunan atau tugu. Seperti tugu Monas di Jakarta, gedung sate di Bandung, tugu khatulistiwa di Pontianak, dan lainnya. Namun ada satu wilayah yang menurut saya sangat khas, yang tidak hanya menonjolkan tugu/ bangunan sebagai simbol kotanya, namun juga masih menjaga bangunan-bangunan yang didesain dengan mengusung konsep budaya lokal setempat, yaitu Pulau Bali. Garuda Wisnu Kencana karya Nyoman Nuarta mungkin menjadi bangunan simbol kuat di pulau dewata tersebut, tapi tak hanya itu, bentuk rumah-rumah penduduk pun mayoritas masih menggunakan pakem rumah tradisional Bali. Produk-produk kerajinan khas Bali pun banyak dijumpai di tiap sudut pulaunya. Semoga para pemimpin daerah di Indonesia dapat lebih kreatif dalam mengelola wilayahnya, sehingga lebih “eye catchy” bagi para pengunjungnya.

10. Barang Bekas: Dijual
Belum puas rasanya ke Jepang kalau belum mengunjungi toko barang bekas yang cukup terkenal disana, “Off” salah satunya. Jenis tokonya ada banyak, sebut saja Hobby-Off, Off-House, Garage-Off, Book-Off, dan Hard-Off, serta Mode-Off dan Liquor-Off. Di Tokyo, Book Off dan Hard Off adalah toko yang paling banyak dijumpai. Kedua toko itu menjual buku dan barang bekas. Kondisi barang-barangnya masih sangat bagus alias masih layak pakai. Book Off lebih fokus menjual buku-buku bekas berbahasa Jepang maupun berbahasa Inggris, sedangkan Hard Off menjual jenis barang bekas lainnya seperti alat musik, baju, mainan, tas, hingga sepatu. This is heaven. Mencari barang bekas yang kondisinya masih bagus, harganya miring, tatanan tokonya rapi jali, dan yang terpenting adalah menjual kejujuran.

Ya, what impressed the most dari toko-toko bekas ini adalah adanya catatan dari toko jika barang tersebut ada bagian yang cacat atau rusak. Bahkan tak jarang dijumpai terdapat barang yang masih baru tapi dijual dengan harga seharga barang bekas. Penduduk Jepang bisa menjual barang-barang milik mereka, baik yang masih baru maupun yang sudah pernah dipakai. Tim kurasi toko akan menilai layak tidaknya barang tersebut untuk bisa dijual dan tentu menentukan harga belinya. Untuk barang yang masih baru atau dalam kondisi yang masih sangat baik, akan dihargai dengan harga yang lebih tinggi. Untuk barang bekas pakai, kebanyakan orang Jepang yang menjual ke toko ini akan memberi tahu kapan beli dan titik-titik kerusakannya. Tim kurasi kemudian akan memberikan catatan pada barang tersebut (kebanyakan ditulis seperti price tag). 

Penataan etalase produknya pun juga sangat ergonomis. Pengunjung sangat dimudahkan dengan pengelompokan etalase, sehingga tidak membingungkan. Kerapihan? jangan diragukan dan dipertanyakan lagi kalau ke Jepang. Pengunjung akan sangat dimudahkan begitu masuk ke area toko. Namun perlu diingat, jika mengambil/mencoba produk di toko ini, jangan lupa dikembalikan ke tempat semula.



Di Belanda, toko barang bekas pun menjadi destinasi belanja para mahasiswa yang notabene harga barangnya relatif ramah di kantong -terutama yang berkantong pas-pasan tapi please jangan disebut kere seperti saya-. Tetapi tidak seperti di Jepang yang memiliki toko bekas khusus menjual buku, di Belanda biasanya toko second hand memajang berbagai macam barang dagangan mulai dari elektronik seperti vacum, furniture seperti lemari pakaian dan meja belajar, fashion (mulai dari kaos summer hingga jaket winter, bahkan tak jarang ditemui yang bermerek sekalipun dengan harga super miring -namanya juga bekas ya-, peralatan makan (piring, sendok, garpu, panci etc), sepeda, sepatu roda, car seat, tirai, lampu, hingga mainan anak-anak yang kondisinya masih cukup bagus. Untuk barang miscellaneous, harga termurah dibanderol mulai dari 50 cent (sekitar 7.500 rupiah) seperti gantungan kunci, piring dan gelas di harga 1e (15.000 rupiah), meja belajar berbahan kokoh di kisaran 20e (sekitar 300.000 rupiah), hingga sepeda bekas yang dibandrol dengan harga 65e (975.000 rupiah). Sama halnya dengan Jepang, warga Belanda juga bisa menjual barang bekas mereka ke toko second hand ini yang harganya akan ditentukan oleh kurator toko. Beberapa dari mereka bahkan memberikannya secara cuma-cuma sebagai semacam charity. 

Mirip seperti Jepang dan Belanda, orang Australia terbiasa menyingkirkan barang-barang mereka yang sudah tidak terpakai lagi, yang bisa dilakukan dengan cara dijual, didonasikan, atau sekedar dibuang begitu saja. Barang yang sudah tidak terpakai biasanya dijual di market place facebook atau beberapa sunday market tertentu, seperti Mt.Gravatt sunday market yang dekat dengan tempat tinggal kami. Untuk mencari barang di market place, tentunya kita harus merubah setting lokasi facebook untuk bisa menemukan harta karun yang bisa dijangkau dari tempat kita, sedangkan sunday market tersebar di lokasi-lokasi permukiman ramai. Selain kedua lokasi itu, seringkali di Brisbane kita bisa menemukan rumah menggelar garage sale di halamannya. Di garage sale kita bisa menawar sejumlah barang sekaligus untuk mendapat harga terbaik seperti yang kita lakukan ketika berbelanja ke pasar di Indonesia. Barang yang dijual disini umumnya perabotan yang masih digunakan sehari-hari, mulai dari pernak-pernik, alat memasak, dekorasi rumah, hingga televisi layar lebar.

Bila dibandingkan Belanda dan Jepang, toko barang bekas bisa dibilang terbatas di Australia. Kenapa? karena toko barang bekas di sana biasanya dikelola lembaga amal dan dikenal dengan nama opshop atau opportunity shop. Barang-barang yang dijual di opshop merupakan barang hasil donasi yang memang tidak dijual oleh pemiliknya, barang yang biasa ditemukan di toko ini seperti pakaian musim dingin, sepatu hingga kasur. Kotak besar dekat pintu masuk dimana orang-orang bisa menaruh barang yang mau didonasikan biasanya jadi ikon khas ketika hendak berbelanja di toko-toko ini.

Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah banyak toko yang menjual barang bekas. Di jalan Surabaya yang berlokasi di Jakarta atau toko Barkas di Yogyakarta misalnya. Barang-barang di toko-toko ini juga disusun dengan cukup rapi. Namun sayangnya, cacat/rusak produk belum diinformasikan dengan baik ke pengunjung, sehingga calon pembeli harus pandai-pandai mengecek barang yang akan dibeli. 

11. Barang Bekas: Dibuang
Tidak terlalu sengsara rasanya menjadi pendatang di Belanda, khususnya di kota-kota yang memiliki universitas dan menjadi tujuan para pelajar dari seluruh penjuru dunia. Durasi tinggal yang relatif singkat di kota tersebut memaksa mereka harus mengosongkan unit hunian segera setelah kontrak sewa rumah selesai dan harus kembali ke negara masing-masing. Alhasil banyak barang yang mereka buang di tempat sampah atau diiklankan gratis di lapak online. Kami pernah menemukan panci aluminium yang kondisinya masih sangat bagus, tempat tidur beserta kasurnya, bahkan kulkas yang masih berfungsi yang digeletakkan begitu saja di dekat pintu masuk apartemen. Saya kurang paham apakah membuang barang ini merupakan hal yang legal di Belanda atau sebenarnya ada fee harus yang dibayar sebagaimana layaknya di Jepang dan Australia. Nyatanya saya juga melakukannya ketika akan pulang ke Indonesia dan tidak ada tagihan yang masuk ke surel sampai dengan tulisan ini dimuat. eh.

Berbeda dengan Belanda yang bisa membuang barang sesuka hati, di Jepang, membuang barang bekas disana tidaklah cuma-cuma. Penduduk yang akan membuang barang-barang yang sudah tidak terpakai harus membayar sejumlah uang. Barang-barang ini khususnya barang-barang yang ukurannya cukup besar, seperti lemari, meja, kursi, dll. Biaya untuk membuang barang bekas ini di kisaran ¥ 500 per barang. Penduduk bisa membeli stiker yang akan ditempelkan di barang bekas ini di konbini/minimarket terdekat. Barang bekas yang sudah ditempel stiker ini kemudian bisa diletakkan di dekat tempat sampah di depan rumah masing-masing. Penduduk tidak diperbolehkan mengambil barang-barang yang sudah ditempeli dengan stiker ini meski masih bagus dan dibuang oleh pemiliknya.

Seperti di Jepang, kita harus membayar untuk membuang barang langsung ke TPS di Australia. Ketentuan ini berlaku untuk sampah domestik berukuran besar yang tidak masuk ke dalam tempat sampah reguler yang disediakan untuk setiap rumah. Untungnya, pemerintah kota Brisbane punya program kerbside collection day dimana setiap rumah diperbolehkan menaruh barang bekas di kerbside atau trotoar depan rumah di waktu yang sudah ditentukan. Lemari, sofa, meja, hingga mainan anak semua ditumpuk dan bebas untuk diambil oleh siapapun sebelum nantinya dibersihkan pemerintah kota untuk dibuang ke TPA. Hal yang harus diingat adalah volume maksimal 2 meter kubik untuk barang-barang yang dikumpulkan tersebut. 

12. Vending machine minuman hangat
Vending machine memang menjadi salah satu ciri khas negara sakura. Negara 4 (empat) musim ini sudah mengembangkan berbagai macam jenis vending machine. Mulai dari rokok, minuman, snack, bahkan makanan dan cake juga dikemas dan dijual melalui vending machine. Jika dihitung antara mesin dengan penduduk Jepang, perbandingannya adalah 1:43 (tsunagujapan.com). Namun demikian, jenis vending machine yang paling banyak dijumpai adalah vending machine untuk minuman. 

Uniknya, vending machine minuman akan disesuaikan sesuai dengan musim. Pada musim panas, mesin akan disetting dingin. Di musim gugur menjelang masuk musim dingin serta akhir musim semi, mayoritas mesin akan disetting sebagian dingin dan sebagian hangat. Di musim dingin kebanyakan mesin akan disetting hangat. Kalau membeli di musim dingin, lumayan jadi penghangat tangan bahkan perut (dimasukkan ke dalam kantong coat/jacket). Bagaimana membedakan yang dingin dan panas? Mudah saja. Minuman dengan label warna merah menandakan minuman hangat dan biru menandakan dingin.

Harga? Jangan khawatir. Harga minuman di vending machine masih terbilang logis, terjangkau, dan masih masuk harga pasar. Variasi? Ini yang justru menjadi daya tarik tersendiri. Varian minuman di vending machine sangat bervariasi. Mulai dari air mineral, air berasa (warna bening tetapi ada perasa buahnya), teh, minuman bersoda, kopi, hingga minuman unik lainnya, seperti drinkable cream puff.


Di Indonesia, khususnya di Jakarta sudah mulai bermunculan vending machine. Namun jumlahnya masih terbilang sedikit. Tidak banyak titik yang menyediakan vending machine di Jakarta. Yang paling banyak di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta). Selain di bandara Soetta, vending machine juga bisa dijumpai di Bandara Halim Perdana Kusuma, beberapa halte busway, mall besar seperti PIM, juga di toko favorit Ikea. Namun sayangnya harga produk di vending machine jauh lebih tinggi dibandingkan jika membeli di toko atau warung pinggiran. Mungkin ini yang menyebabkan low demand untuk vending machine di Indonesia.

13. Mesin kasir otomatis
Entah karena teknologi sudah begitu maju, atau upah pegawai di Belanda terlalu mahal, beberapa supermarket di sana dilengkapi dengan mesin kasir otomatis, lengkap dengan alat untuk scan belanjaan yang dapat dipasang di dalam troli belanja. Untuk dapat menggunakan alat scan dan kasir otomatis tersebut, kita harus memiliki kartu member terlebih dahulu yang biasanya disediakan di dalam brosur yang diletakkan di dekat pintu keluar.

Alat scan dan kasir otomatis ini cukup membantu meringankan aktivitas belanja dan mengurai antrian di kasir manual karena semua bisa dilakukan secara mandiri. Sebelum mulai berbelanja, kita scan dulu kartu member menggunakan scanner tersebut. Ketika sudah selesai, maka akan muncul total item belanjaan dan harga yang harus dibayar di layar scanner. Langkah selanjutnya adalah kita tempelkan alat scanner tersebut ke mesin kasir otomatis dan scan kartu member agar mesin kasir otomatis tersebut dapat mendeteksi akun kita. Rincian belanja serta total harga yang harus dibayar pun akan muncul di layar. Mesin kasir otomatis ini tentunya dilengkapi dengan alat bayar otomatis (kartu debit/ kredit, no cash) yang akan mengeluarkan struk belanja ketika pembayaran sudah selesai dilakukan. Struk ini harus kita scan (lagi) pada alat untuk membuka pintu elektronik, tanpa struk tersebut maka kita tidak bisa keluar dari supermarket karena pintu tidak akan terbuka kecuali kita memanggil petugas dan mengajak kenalan meminta dibukakan pintu sambil meyakinkan mereka bahwa kita memang benar sudah membayar dengan menunjukkan bukti yang cukup kuat. 

Beberapa supermarket di Jepang pun juga sudah menerapkan kasir mandiri. Antrian yang panjang dan pembeli yang terburu-buru bisa memanfaatkan fasilitas ini. Pembeli cukup membawa barang belanjaan ke mesin otomatis. Kemudian menempelkan barcode ke mesin pembaca barcode. Detail produk dan harga akan muncul di layar dan konsumen tinggal membayar barang yang dibeli. Yang lebih mind blowing lagi, ada beberapa mesin kasir otomatis, atau yang biasa disebut self checkout machine, dimana pembeli tidak perlu men-scan barcode namun cukup meletakkan keranjang beserta barang belanjaan di mesin. Mesin secara otomatis akan menampilkan barang-barang apa saja yang akan dibeli beserta harganya. Kalau tidak salah ingat, beberapa store UNIQLO sudah menggunakannya.

Cara bayar? Bisa dengan uang cash yang tinggal dimasukkan di mesin selayaknya di vending machine, dengan kartu kredit/debit, atau dengan e-money (PASMO/SUICA). Kembalian? Jika konsumen membayar dengan uang cash dan terdapat kembalian, pembeli akan mendapatkan kembalian bahkan dalam uang koin. Tidak seperti di Belanda di mana pembeli harus menjadi member, di Jepang konsumen tidak perlu memiliki kartu member. Pembeli hanya cukup menyediakan uang dalam bentuk cash atau menggunakan kartu.


Sebenarnya di Indonesia alat serupa sudah tersedia. Ambil contoh di Decathlon. Atau Mc. D, dimana mesin menu otomatis sudah disediakan sebelum area kasir dan pengunjung bisa memilih menu dan bertransaksi menggunakan kartu debit/ kredit. Sayangnya masih banyak pengunjung yang belum mengerti cara mengoperasikan sehingga tetap diperlukan petugas yang standby untuk memberikan tutorial. Pengunjung yang kagok untuk menggunakan mesin tersebut pun lebih memilih menuju meja kasir dan mengantri demi menghindari canggungnya memanfaatkan teknologi. 

14. Wajib Tersedia: Kotak Pos dan Gudang Pribadi pada Hunian Bersama
Di Belanda kami rutin sekali mendapatkan surat. Entah sekedar panggilan dari Balai Kota untuk melengkapi data kependudukan sementara hingga panggilan vaksin untuk anak-anak, atau tagihan pajak air dan gas tahunan dengan nominal cukup tinggi yang harus segera dibayar. Lupakan kanal Whatsapp ataupun surel karena meskipun tergolong maju tetapi disana persuratan konvensional masih dilestarikan. Wajar jika kotak pos menjadi sebuah hal yang wajib ada di setiap hunian di Belanda, termasuk pada bangunan apartemen sekalipun. 


Selain kotak pos, hunian tinggal yang bersifat sharing disana pun dilengkapi dengan gudang pribadi. Gudang ini biasanya terletak di lantai satu atau lantai basemen agar memudahkan penghuni ketika akan mengisi atau mengosongkan gudang mereka. Saya pernah mendapatkan hunian yang gudangnya terletak di area basement dan berbau lembab, yang nomornya disesuaikan dengan unit hunian yang kami sewa. Bentuknya seperti lorong sempit panjang dengan ujung berbentuk T. Saya tidak pernah betah berlama-lama di gudang yang penerangannya remang-remang itu, karena ujung lorong terlihat gelap dan saya tidak pernah siap berpapasan dengan siapapun di lorong itu -kecuali Jared Leto, mungkin-. 

Sedikit Out of Topic, ketika masa sewa hunian sudah selesai, maka unit tersebut harus dikosongkan dan dikembalikan seperti keadaan semula, termasuk melepas bohlam lampu dan mengecat kembali permukaan dinding yang kiranya sudah memudar, dimana kode cat biasanya sudah ditentukan oleh makelar. Tak terkecuali juga mengosongkan gudang. Sebelum masa sewa berakhir, makelar akan mengagendakan kunjungan sebanyak 2 (dua) kali. Kunjungan pertama adalah untuk menentukan hal-hal apa saja yang harus diganti/ disingkirkan/ diperbarui, sedangkan kunjungan kedua bermaksud untuk memastikan bahwa seluruh catatan hasil kunjungan pertama sudah ditindaklanjuti. Jika semua sudah clean and clear, maka deposit sewa (biasanya minimum 1 kali harga sewa) akan dikembalikan dalam kurun waktu maksimal 30 hari. 

15. Integrated Bike Infrastructure 
Konon, jalur sepeda di Belanda itu terhubung dari ujung kota ke ujung kota lainnya. Endless bike line. Saya belum pernah mencoba bersepeda berkeliling Belanda (demi apa), tetapi saya selalu menggunakan sepeda untuk pergi ke kampus atau belanja groceries dengan suami dan anak-anak. Kami juga kerap bersepeda ke kota sebelah (Ede) yang berjarak sekitar 10 km dan dapat ditempuh dengan bersepeda santai selama kurang lebih 45 menit. Kami pun pernah bersepeda ke kastil Doorwerth yang terletak di antara Wageningen dan Arnhem, dimana jalur sepedanya didesain bersisian atau melintasi jalur highway yang dilengkapi dengan terowongan ketika jalur sepeda melintasi jalur highway tersebut (jalur highway di Belanda tidak berbayar alias gratis, anyway).

Negara kincir angin ini memang serius dalam memfasilitasi penduduknya untuk menggunakan sepeda sebagai alat transportasi, terbukti dari penyediaan jalur khusus sepeda yang sudah terkoneksi dengan baik lengkap dengan infrastruktur pendukungnya seperti area parkir khusus sepeda. Parkir sepeda sangat mudah ditemui di tempat umum seperti pasar, supermarket, stasiun, dan perpustakaan kota. Di beberapa lokasi, parkir sepeda bahkan dibuat bertingkat untuk mengakomodir jumlah sepeda yang lebih banyak yang biasanya dilakukan di pusat kota karena keterbatasan lahan yang tersedia. Tetapi jangan lupa untuk selalu mengunci sepeda, karena lengah sedikit maka sepeda itu bisa raib seperti yang saya alami ketika lupa mengunci sepeda yang saya parkir di halte bis dekat apartemen (mungkin mereka tidak bermaksud mencuri tetapi mengira bahwa sepeda butut saya sudah tidak diperlukan lagi karena tidak dikunci).


Untuk area dalam kota, pembatas antara jalur sepeda dengan jalur kendaraan lainnya hanya berupa garis penanda. Sedangkan untuk jalur yang menghubungkan antar kota, maka jalur sepeda akan diberi pembatas dengan jalur kendaraan yang biasanya berupa jalur hijau. Apakah sepeda dan mobil aman berdampingan di dalam kota meskipun tidak diberikan pembatas? Surprisingly, yes. Karena batas kecepatan disana sudah jelas. Jalur kendaraan yang bersisian dengan jalur sepeda dapat dipastikan memiliki batas kecepatan yang sangat rendah (misal: maksimal 40 km/ jam) sehingga dengan kecepatan rendah tersebut tidak berpotensi membahayakan pengguna sepeda. 


Untuk memfasilitasi pesepeda dalam moving around the town, di Belanda kita bisa menyewa sepeda di stasiun terdekat menggunakan OV-chipkaart dan akan dikenai tarif harian. Kita pun diperbolehkan membawa sepeda ke dalam kereta yang akan dikenai tarif khusus (sepeda besar atau omafiet pun boleh, tidak hanya sepeda lipat sebagaimana yang diizinkan di Indonesia). Bersepeda di Belanda tidak memerlukan peralatan khusus (kecuali anda atlet sepeda), kecuali lampu depan dan belakang yang menjadi barang wajib jika tidak ingin dirazia polisi di malam hari. Selain itu, banyak sepeda di Belanda yang dilengkapi dengan tas post man di bagian belakang yang sangat bermanfaat untuk membawa barang belanjaan. 

Bagaimana dengan Jepang? Jujur saya belum pernah mencicipi bersepeda di Jepang. Namun saya suka mengamati pesepeda-pesepeda di negeri matahari terbit ini. Serupa tapi tak sama dengan Belanda, bersepeda di Jepang adalah yang lumrah di sana. Banyak yang menggunakan moda transportasi ini untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain yang jaraknya tidak terlampau jauh. Dari rumah ke tempat belanja, ke tempat penitipan anak, atau ke sekolah/kampus. Jika jarak tempuhnya lumayan jauh, pesepeda umumnya akan gowes dari rumah ke stasiun terdekat untuk oper ke kereta. 

Di Jepang, pesepeda dapat melaju di sisi jalan atau jika terdapat trotoar yang cukup lebar, dapat menggunakan trotoar sebagai jalurnya. Di beberapa titik jalan pun terdapat jalur khusus bagi pengguna sepeda. Yang membedakan dengan Indonesia adalah pengguna jalan yang jauh lebih tertib. Pemotor tidak akan melaju di jalur sepeda. Kena tilang taruhannya. Selain itu, jalur sepeda, baik jalan raya ataupun trotoar, tidak akan digunakan untuk parkir atau jualan pedagang kaki lima. 

Worry untuk bersepeda di Jepang? No need, karena selain transportasi kereta di Jepang sudah terintegrasi dan banyak stasiun (sesuai standar jarak antar stasiun yang menurut saya pas), parkir sepeda tersedia di stasiun atau di sekitar stasiun. Aman pula. Bahkan di beberapa daerah, pemerintah lokal menyediakan lahan kosong yang disediakan untuk parkir gratis, khususnya bagi wanita yang memiliki balita. Umumnya mereka akan membawa sepeda dengan 1 atau 2 child seat(s).


Yang keren lagi dari Jepang, sebagai tambahan, serupa dengan Belanda, sudah banyak tempat parkir sepeda bertingkat (bisa 2 tingkat atau lebih) bahkan tempat parkir sepeda di bawah tanah. Wow. Inovasi ini muncul mungkin karena banyaknya pengguna sepeda namun lahan yang terbatas. Jadi, tidak akan kita temui pesepeda yang parkir sembarangan di pinggir jalan. Jika parkir sembarangan, jeda sekitar 15-30 menit akan ada polisi lalu lintas yang akan mengangkut sepeda. Pemilik sepeda harus datang ke kantor polisi dan membayar denda. Jarang sekali pula ditemui kasus pencurian sepeda karena selain angka kriminal yang sangat rendah, bicycle parking system di Jepang mayoritas menggunakan locking tools di bagian roda. 

Mungkin jika dibandingkan dengan kedua negara di atas, kita tidak akan mendapat pengalaman yang sama ketika bersepeda di Brisbane. Walau jalan disana sangat bagus untuk bersepeda, rasanya tidak ada jalan bolong yang dibiarkan tanpa langsung diperbaiki, namun nyatanya di Brisbane sebagian besar orang bersepeda hanya untuk olah raga. Ini bisa dilihat dari banyaknya sepeda tipe road bike (sepeda balap) dibanding tipe sepeda lain yang dipakai di jalan, cuma berseliweran di akhir pekan, dan yang bersepeda pun orang-orang dengan setelan bersepeda (cycling attire) layaknya atlet profesional. Jadi, mungkin tidak berlebihan kalau dikatakan kalau sepeda bukan moda transportasi favorit.

Beberapa alasan yang sempat terlintas di pikiran penulis adalah adalah karena umumnya pusat-pusat kota di Queensland jaraknya cukup berjauhan dan dihubungkan highway yang tidak memperbolehkan adanya sepeda. Ditambah lagi, tingkat radiasi UV yang tinggi menyebabkan orang untuk membatasi untuk terpapar sinar matahari langsung terlalu lama. Sebagai info, orang Brisbane sangat concern dengan tingkat kanker kulit yang relatif tinggi. Sepanjang pengamatan penulis, jalur sepeda terintegrasi di sisi badan jalan dan hanya dibatasi cat marka jalan, walau diperbolehkan bersepeda di trotoar namun hal ini jarang dilakukan. 

Sedang kalau dari sisi regulasi, pesepeda di Brisbane wajb memaki helm dan perlengkapan lampu depan yang cukup terang atau sekitar 500 lumens dan lampu belakang. Selain untuk menginformasikan keberadaan pesepeda ke pengandara kendaraan bermotor di malam hari, juga karena beberapa wilayah di suburb atau komplek perumahan bisa sangat gelap tanpa ada penerangan jalan. Lalu, kalau apes bersepeda tanpa perlengkapan minimal, ada kemungkinan kita ditilang oleh polisi yang berpatroli. 

Sebenarnya di Indonesia jalur sepeda sudah mulai disediakan. Ambil contoh di kawasan Sudirman, Jakarta. Sayangnya, saya belum pernah mencoba jalur sepeda ini sehingga saya tidak terlalu mengerti se-integrated apakah jalur sepeda yang sudah mulai diinisiasi itu. Beberapa kali saya melewati Sudirman pun jalur sepeda itu terlihat lengang dan justru dimanfaatkan oleh pesepeda motor dan ojol alih-alih pesepeda. Mungkin cuaca dan kualitas udara di Jakarta juga berpengaruh terhadap reluctance warganya dalam menggunakan sepeda sebagai sebuah moda transportasi. 


Ke-15 list yang disebutkan di atas mungkin tidak akan cukup memberikan gambaran pengalaman-pengalaman unik di Belanda, Australia dan Jepang yang tidak kita temukan di Indonesia. Vice versa. Butuh riset yang sungguh-sungguh jika memang ingin membandingkan keempatnya. 

On one hand, terdapat sederet keunikan spesial di Indonesia yang tidak bakal ditemukan di ketiga negara tersebut seperti eksistensi keberadaan pak ogah untuk mengambil alih tugas traffic light, tukang nasi goreng dan batagor dan makanan lainnya yang kerap lalu lalang di depan rumah pas ketika perut keroncongan, atau tisu toilet yang berubah fungsi menjadi tisu multifungsi yang kerap hadir di meja-meja warung kaki lima. Sederet hal yang mustahil happen di Belanda/ Jepang/ Australia. 

On the other hand, there is a bunch of list as aforementioned before tentang perbedaan yang kami rasakan semasa tinggal disana. Tentang hal-hal detail yang dianggap krusial di luar sana dan (sadly) yang terkadang masih diabaikan disini disebabkan adanya skala prioritas yang berbeda. Bayangkan seandainya sistem suplai air bersih di Indonesia sudah terintegrasi dengan baik, pasti toren pinguin dan galon-galon air tidak perlu berjejalan di rumah penduduk. Atau bagaimana kita bisa aman bersepeda ataupun berjalan kaki karena tersedianya aturan pemanfaatan jalan yang jelas. Semoga bisa diadaptasi di Indonesia (soon) demi mewujudkan tempat hunian yang lebih baik.

Regardless, semoga tulisan kami bisa memberikan a glimpse of picture tentang perbedaan yang kami rasakan semasa tinggal disana termasuk culture shock (in a positive way ya) yang kami alami ketika kembali ke tanah air. 

Culture shock macam apa sih? Such as, bagaimana sih adab berpapasan dengan stranger ketika sedang take a walk di Belanda? Atau seberapa disiplinnya orang Jepang soal waktu? Lalu bagaimana warga Australia melihat seorang muslim berpuasa di tengah teriknya musim panas?

Penasaran? Nantikan tulisan kami di season berikutnya.

Disclaimer: 
Tulisan ini merupakan rangkaian pengamatan pribadi tiga orang penulis yang pernah tinggal mengenyam pendidikan di tiga negara tersebut (lebih tepatnya di Wageningen - Belanda, Brisbane - Australia, dan Tokyo - Jepang) sehingga data yang disuguhkan cenderung bersifat personal opinion dan tidak dapat merepresentasikan kondisi negara Belanda, Australia, dan Jepang secara keseluruhan. 

Riwayat singkat penulis

Mita Astari Yatnanti
Penulis, Mita Astari Yatnanti, S.E., MPP, M.Ec.Dev., adalah pegawai negeri di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dari 2010 hingga Maret 2021. Mulai April 2021 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai pegawai negeri di RSUD Dr. Moewardi Provinsi Jawa Tengah. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Sebelas Maret (FE UNS), dan pernah mengenyam Pendidikan S2 di Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Gadjah Mada (MEP UGM) Yogyakarta dan National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS) di Jepang.

Angga Ardiyansyah
Penulis, Angga Ardiyansyah, SP, M.Si, M.Env., adalah pegawai negeri di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, merupakan alumnus Institut Pertanian Bogor pada program studi Arsitektur Lanskap. Penulis mengenyam Pendidikan S2 Magister Sains di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dan Ilmu Lingkungan di Griffith University, Australia.

Reniati Utami
A perfekt introvert


Share this post:  
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment