Friday, October 18, 2019

Manfaat Lahan Hijau dalam Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim


Aktivitas manusia diketahui memberikan pengaruh yang besar terhadap pemanasan global. Berbagai sumber emisi gas rumah kaca seperti kendaraan bermotor, industri, produksi energi, daerah komersial dan pemukiman, sektor agrikultur serta penggunaan dan konversi lahan hijau berkontribusi besar dalam peningkatan suhu atmosfir di bumi [1]. Secara umum kenaikan suhu terjadi di sebagian besar wilayah bumi meskipun perubahan suhu tidak merata di seluruh permukaan bumi. Menurut NOOA [2], perubahan suhu daratan dan lautan global rata-rata sebesar 0.07°C setiap dekade sejak tahun 1880. 

Perubahan iklim menjadi topik yang hangat dan penting karena dapat mengancam sustainabilitas kehidupan manusia dan juga organisme lain di dunia. Terdapat beberapa dampak negatif yang diperkirakan akan muncul karena adanya keterkaitan dengan perubahan iklim [3]. Pertama, proyeksi esktrim dari jumlah hari yang panas lebih banyak daripada jumlah hari yang dingin atau beku. Hal ini dapat memengaruhi kekeringan dan kelangkaan air bersih di berbagai daerah. Dampak yang kedua adalah intensitas gelombang panas yang tinggi yang dikabarkan dapat menyebabkan kematian karena tidak adanya kesiapan masyarakat dalam menghadapi gelombang panas tersebut. Selanjutnya, peningkatan intensitas curah hujan dan puncak presipitasi dapat menyebabkan fenomena banjir yang tidak biasa atau lebih parah dari biasanya. Untuk mencegah terjadinya bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim khususnya di daerah perkotaan, berbagai strategi perlu dilakukan sebagai upaya untuk adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, salah satunya dengn menggunakan sistem hijau. 

Infrastruktur hijau atau Green Infrastructure (GI) merupakan salah satu alat yang dapat digunakan sebagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. GI secara umum didefinisikan sebagai “jaringan dari area alami dan semi-alami yang memiliki kualitas yang sangat baik dengan fitur lingkungan yang lain, yang secara strategis direncanakan, didesain dan diatur untuk memberikan jasa lingkungan yang luas dan untuk melindungi biodiversity di daerah perkotaan dan pedesaan” [4]. Selain itu, GI juga didefinisikan sebagai “jaringan lahan hijau yang saling terhubung yang mengkonservasi nilai-nilai dari ekosistem alami dan menyediakan keuntungan yang tidak hanya bermanfaat bagi peningkatan kualitas lingkungan tetapi juga kesejahteraan manusia” [5]. Infrastruktur hijau memiliki fungsi yang sangat penting untuk menjaga keberlanjutan suatu kota. Karakteristik alami yang dimiliki GI menjadikan jaringan ini memiliki manfaat yang penting bagi manusia dan organisme lain di dalam kota. 

Taman Keukenhof, Belanda
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018

Lahan Hijau di Kota Enschede, Belanda
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018

Menurut teori Ecosystem Services atau Jasa Lingkungan, lahan hijau memiliki berbagai macam jasa lingkungan memiliki nilai yang berharga. Sebelum meninjau jasa lingkungan lebih jauh, alangkah baiknya jika kita mengetahui definisi dari jasa lingkungan itu sendiri. Jasa lingkungan atau yang sering dikenal sebagai ecosystem services merupakan berbagai manfaat yang didapatkan dari ekosistem [6]. Menurut TEEB, terdapat empat kategori jasa lingkungan yaitu: provisioning (pengadaan), regulating (pengaturan), habitat (tempat tinggal) dan cultural (kebudayaan) [7]. 

Dalam artikel ini, jasa lingkungan yang secara khusus akan dibahas adalah jasa pengaturan (regulation services). Kategori ini sangat erat hubungannya dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Jasa lingkungan dari infrastruktur hijau dan lahan hijau seperti hutan kota sering kali dikaitkan dengan kemampuan sistem tersebut untuk meregulasi aliran air dan juga mitigasi aliran air hujan (runoff) [7]. Keberadaan tutupan lahan oleh pohon menyebabkan adanya penyimpanan cadangan air tanah. Selain itu, keberadaan area tanah yang berpori (permeable) meningkatkan kapasitas kota dalam menyerap air hujan. Lalu, keberadaan kanopi pohon yang rimbun dapat mengurangi intensitas jatuhnya air hujan langsung ke permukaan tanah atau jalan. Dengan kata lain, lahan hijau berperan penting dalam meminimalisasi fenomena banjir dan kekeringan. Selain itu, sistem tersebut berperan dalam suplai air bersih. Ekosistem alami seperti taman juga berperan penting dalam mengatur suhu mikro kota. Sebuah pohon yang besar dapat bertranspirasi dan menghasilkan uap air sebanyak 450 Liter air per hari [8]. Dalam proses ini, energi panas yang dikonsumsi sekitar 1000 Megajoule [8]. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan suhu lingkungan. Lahan hijau juga diketahui dapat menurunkan konsentrasi Karbon Dioksida (CO2) di atmosfer. Menurut sebuah penelitian di Korea, estimasi penurunan CO2 di sekitar area taman sebesar 17.000 ton CO2 per tahun [9].  

Berbagai negara maju telah mengimplementasikan strategi hijau untuk adaptasi dan mitigasi dengan perubahan iklim, salah satu diantaranya adalah Belanda. Ibukota Belanda, Amsterdam, memiliki inisiatif lahan hijau yang cukup ambisius. Salah satu program mereka adalah membuat kota menjadi hijau dengan green roofs (atap hijau) dan juga green walls (dinding hijau). Selain itu, inisiatif untuk menjadikan daerah permukiman di Amsterdam lebih hijau pun sudah terjadi. Banyak masyarakat lokal dan komunitas yang membantu dalam perawatan taman yang luasnya relatif kecil yang sering dikenal sebagai pocket park. Green corridor (koridor hijau) juga dibuat untuk memperluas koneksi jaringan lahan hijau di kota. Jika kita hubungkan dengan teori jasa lingkungan, lahan hijau yang ada di Amsterdam berperan penting dalam menjaga kota tersebut dari dampak pemanasan global, seperti banjir yang ekstrim. Beberapa jasa lingkungan yang secara umum ada di lahan hijau tersebut adalah: 1. Penurunan suhu dalam skala besar dan kecil, 2. Penyerapan dan penyimpanan karbon, 3. Meningkatkan proses infiltrasi dan penyimpanan air, dan 4. Mengurangi dampak kekeringan dan banjir [10].

Lahan hijau memiliki fungsi yang penting untuk meningkatkan ketahanan suatu kota dalam menghadapi perubahan iklilm karena jasa lingkungan yang dimilikinya. Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika kita bisa berkontribusi dalam melestarikan lahan hijau yang ada di kota. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai lapisan masyarakat seperti pembuatan taman di pekarangan rumah atau di area kompleks hingga penanaman bibit pohon ataupun implementasi yang baik dari aturan-aturan yang berkaitan dengan pelestarian hutan kota.

Ditulis oleh:
Wisya Aulia Prayudi (S2 Urban Environmental Management, Wageningen University & Research, S1 Biologi Institut Teknologi Bandung)


Referensi
[1] EPA. 2019. Greenhouse Gas Emissions. Diakses dari: https://www.epa.gov/ghgemissions/sources-greenhouse-gas-emissions
[2] NOAA. 2018. Global Climate Report 2018. Diakses dari: ncdc.noaa.gov/sotc/global/201813
[3] Van Aalst, Maarten K. "The impacts of climate change on the risk of natural disasters." Disasters 30.1 (2006): 5-18.
[4] European Union. 2013. Building a Green Infrastructure for Europe. Luxembourg: European Commision
[5] Rall, L., Niemela, J., Pauleit, S., Pintar, M., Lafortezza, R., Santos, A., . . . Železnikar, Š. 2015. A typology of urban green spaces, eco-system services provisioning services and demands. Report D3, 1.
[6] Millenium Ecosystem Assessment. 2003. Ecosystem and Human Well-being: A Framework for Assessment. Washington: Island Press.
[7] Gómez-Baggethun, E., & Barton, D. N. (2013). Classifying and valuing ecosystem services for urban planning. Ecological economics, 86, 235-245.
[8] Bolund, P., & Hunhammar, S. (1999). Ecosystem services in urban areas. Ecological economics, 29[2], 293-301.
[9] Lee, B., Tae, S. H., Shin, S. W., & Yeo, Y. Carbon Dioxide Reduction through Urban Green Space in the case of Sejong City Master Plan.
[10] Geertje Wijten. 2019. Amsterdam NBS for Greening the City and Increasing Resilience. Diakses dari: https://oppla.eu/amsterdam-nbs-greening-city-and-increasing-resilience
















Share this post:  
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment