Saturday, December 10, 2022

Mewujudkan Kawasan Metropolitan: Belajar dari Portland, Amerika Serikat

 

PERKEMBANGAN kota yang progresif membuat keterbatasan akan lahan semakin menjadi-jadi. Perluasan wilayah administrasi sebagai satu solusi penanganannya. Dalam perluasan wilayah kedua otoritas lokal terkait perlu berkomunikasi, dan pemerintah provinsi berperan sebagai mediator untuk segera menemukan kebijakan yang tepat terkait masalah tata ruang wilayah ini.

Saya pribadi berpendapat bahwa perluasan wilayah administrasi bukanlah kebijakan yang populis dan berkelanjutan. Bahkan, gagasan ini bisa jadi akan mendatangkan polemik atau konflik baru antara kedua otoritas lokal. Sejauh pemahaman saya, perkembangan suatu wilayah, tidak akan pernah mampu dihentikan, yang terpenting adalah bagaimana kita mengelola dan mengantisipasinya dengan perencanaan kebijakan yang matang.

Jika suatu kota mendapatkan tambahan “porsi” wilayah administrasi dari otoritas lokal lainnya, apakah ada jaminan tambahan “porsi” wilayah administrasi itu akan cukup untuk masa yang akan datang? Jika kelak masalah yang sama terjadi, apakah kemudian otoritas lokal akan kembali “mencaplok” wilayah administrasi wilayah sekitarnya? Alih-alih bergandengan tangan dalam pembangunan, perluasan wilayah administrasi ibarat virus yang bakal akan terus menggeregoti wilayah administrasi wilayah sekitarnya, bukankah begitu? Di sisi lain, bukankah krisis keruangan di berbagai kota saat ini sudah sangat mendesak? Jadi pada titik ini, apa yang harus kita lakukan?

Pernahkah kita mendengar Amerika Serikat (AS), satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia saat ini, dengan total luasan wilayah administrasinya mencapai 9.147.593 Km persegi, berupaya memperluas ibu kota negaranya, Washington DC yang hanya memiliki total luasan wilayah administrasi 177 Km persegi? Persoalan ruang perkotaan yang sedang kita hadapi bukan semata mengenai kondisi luas wilayah administrasi kota yang kecil atau terbatas, melainkan lebih kepada pemerataan pembangunan, terutama pusat-pusat pelayanan kegiatan ekonomi dan aksesibilitas transportasi publik yang terpadu dan terhubung (integrated and connected public transportation system).


Oregon Metropolitan (psmag.com, 2022)


Kebutuhan akan ketersediaan lahan akibat pertumbuhan wilayah kota yang progresif dan masif menjadi tantangan tersendiri bagi hampir seluruh kota di Indonesia. Dalam rangka mengendalikan pertumbuhan wilayah kota, infrastruktur dan isu-isu pembangunan yang tidak mengenal batas wilayah administrasi ini (cross-jurisdictional boundaries), saya mengusulkan gagasan pembentukan pemerintahan regional (regional governance), suatu wacana yang masih sangat jarang kita temukan dalam dinamika pengelolaan perkotaan di Indonesia.

Kembali merujuk pada AS, hampir semua wilayah kota di AS telah mengadopsi sistem pemerintahan regional ini. Sebut saja misalnya Kota Portland yang terletak di Negara Bagian Oregon dan beberapa kota yang secara geografis berbatasan dengannya. Pada era 1950-an, pemimpin otoritas lokal Kota Portland memandang pentingnya perencanaan perluasan perkotaan untuk menyediakan kebutuhan lahan pembangunan yang semakin terbatas. Dalam rangka mengelola isu pertumbuhan perkotaan, infrastruktur dan pembangunan di berbagai sektor lainnya, otoritas lokal membentuk sebuah lembaga yang khusus menangani dan mengeksekusi kebijakan terkait isu-isu pertumbuhan perkotaan yang sekali lagi acapkali tidak mengenal batasan administrasi, bukan dengan memperluas wilayah administrasi Kota Portland itu sendiri. Kebijakan ini merupakan yang pertama sekali dan kemudian diikuti oleh berbagai kota dan negara bagian lain di AS.

Adapun kewenangan lembaga yang disebut dengan Oregon Metro ini adalah dalam hal penyediaan sarana transportasi publik antar kota yang berfungsi sebagai moda sirkulasi arus transportasi ini yang paling penting. Selain itu, lembaga ini memiliki visi perencanaan jangka panjang yang mengakomodasi kebijakan transportasi di masa yang akan datang antara wilayah-wilayah yang berada di bawah kewenangannya, kebutuhan akan lahan terbuka hijau, kawasan-kawasan cagar alam dan budaya, serta tentunya penyediaan jalan strategis yang menghubungkan antar-kawasan metro.

Jika kita menelaah peluang memberlakukan kebijakan yang sama, maka tentu saja dibutuhkan studi kelayakan yang komprehensif dan menyeluruh karena akan bersentuhan dengan sistem birokrasi yang sangat bertingkat. Namun, bukan berarti itu adalah hal yang mustahil kita wujudkan, bukan? Tentu saja saya sangat sepakat jika kita lebih mengutamakan pendekatan karaksteristik lokal yang kita miliki (make it local) dalam perwujudan konsep manajemen perkotaan ini.

Tentu saja, saya kira tidak ada yang akan dirugikan dalam penentuan kawasan metropolitan dan pembentukan lembaga otoritas Metropolitan ini. Sehingga, secara administrasi tidak ada wilayah yang hilang dari suatu otoritas lokal, sehingga potensi PAD dari wilayah-wilayah eksisting saat ini terutama sub-urban (pinggiran perkotaan) tetap terjaga. Di sisi lain, area perkotaan yang memiliki daya tarik ekonomi (leverage factor) sebagai satu kawasan ibu kota dimana pusat aktivitas ekonomi teraglomerasi di rata tempat, tentu saja dalam konteks ini mereka butuh kawasan penyangga.


Mohd. Meidiansyah, S.Si, MURP

Staf Pemda Aceh. Saat ini sedang menempuh studi di Program Doktoral Planning Univ of Liverpool





Share this post:  
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment