Tuesday, March 02, 2021

Bottom Up Planning dengan mengadopsi Sistem Pengembangan Kawasan Secara Organik. Studi Kasus: Almere-Oosterwold


“Urbanism works when it creates a journey as desirable as the destination.” Paul Goldberger. 

“Okey class. So today we will have an assignment refer to the excursion we had last week”, kata professor saya di depan kelas yang menjadi Penanggung Jawab mata kuliah Planning and Design of Urban Space di Period 5, tahun terakhir saya menjalani program master Urban Environmental Management di Belanda.

 “You need to design this area namely Amere Oosterwold. You may read the assignment instruction on the blackboard for further description (school application related to academic activities, red). Today we will also have a presentation from Almere municipality officer, Mr. Ing. Michel Cosse whom will explain about Almere-Oosterwold”, sambung profesor saya and gave floor to the key speaker. 

Another assignment related to perencanaan kawasan. Kali ini studi kasus yang diberikan adalah kawasan Almere-Oosterworld, sebuah kawasan baru hasil reklamasi yang terletak di sisi timur Amsterdam. Uniknya, studi kasus yang diberikan pada tugas-tugas perencanaan disini hampir selalu bersifat bottom up planning, alih-alih direncanakan oleh pemerintah atau bersifat top down planning. Setelah sebelumnya diminta mempelajari mengenai bagaimana penduduk kawasan Eva-Lanxmeer mengelola kawasan huniannya (Artikel sebelumnya: Pelabelan Energi pada Gedung di Eropa) kali ini kami diminta untuk mendesain Almere-Oosterwold dengan starting point satu perencanaan kawasan yang bersifat circuler, atau dikenal juga dengan istilah organic

Secara garis besar, mayoritas lahan di Almere-Oosterwold dikuasai oleh pemerintah (67%). Hanya 22% dari luasan lahan dikelola oleh developer dan sebanyak 10% dimiliki oleh petani. Menurut Ing. Michel Cossee, Senior Manager Urban Economics yang bekerja di Almere Municipality, member dari operating company Almere Oosterwold serta owner Cossee Consultancy, organic disini berarti bahwa meskipun menguasai hampir dari separuh kawasan, pemerintah tidak memiliki tanggung jawab sepenuhnya untuk membangun kawasan tersebut. Alih-alih, pemerintah memberikan kesempatan kepada pihak manapun yang berminat untuk membangun kawasan tersebut, dengan memperhatikan game rule yang telah ditetapkan sebagai berikut: 

1. People make the place: semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi di dalam pembangunan kawasan Oosterwold. Feel free to join! 

2. Generic plot must have fixed space pattern: meskipun bersifat organik, pemerintah tetap menentukan generic plot yang memuat fixed space pattern yang harus dipatuhi dalam pengembangan kawasan, dengan detail sebagai berikut: 18% dialokasikan untuk konstruksi, 8% dialokasikan untuk jalan, 13% luasan lahan dialokasikan untuk Ruang Terbuka Hijau, 2% dialokasikan untuk sumber dan resapan air, dan 59% dari kawasan dialokasikan untuk urban agriculture. 

Fixed pattern di Almere-Oosterwold (Cossee, 2017)

54% dari luas kawasan diperuntukkan sebagai urban agriculture, 23% untuk area terbangun, 14% dialokasikan untuk Ruang Terbuka Hijau, 8% untuk infrastruktur jalan, dan sisanya sebesar 1% untuk penyerapan air.

3. Specific plots have a variable space pattern: Setiap plot harus memiliki komposisi sebagaimana yang telah ditentukan oleh Pemerintah. Misalnya dari ruang terbangun yang dialokasikan sebesar 18%, di dalamnya tetap harus memuat komposisi lain seperti resapan air, Ruang Terbuka Hijau, kawasan agrikultur dan infrastruktur. Adapun bentuk dan komposisi kawasan yang akan direncanakan bersifat fleksibel selama tidak melewati batasan yang telah ditentukan Pemerintah. 

4. Free choice of plot location: plot dengan fungsi tertentu dialokasikan di area spesifik, seperti jalan yang diplot di sepanjang jalur utama yang mengkoneksikan kawasan Almere-Oosterwold dengan kawasan lainnya. 

5. Freedom and restrictions for buildings: Bangunan yang diijinkan pada kawasan ini bersifat fleksibel, tidak terlalu bersifat rigid sebagaimana aturan yang diterapkan pada bangunan gedung di Belanda pada umumnya. 

6. Build the infrastructure: infrastruktur utama yang disediakan oleh Pemerintah adalah jalan utama dan sumber air, sedangkan infrastruktur lainnya seperti pengelolaan sampah dan pemenuhan kebutuhan energi dibebankan kepada pengguna kawasan. 

7. 50% dari luasan kawasan dialokasikan untuk urban farming: Belanda memang sangat fokus pada pemenuhan kebutuhan pangan (self-sufficient) untuk menghindari cost (both related to financial and transportation) yang terlalu tinggi jika harus mendatangkan bahan pangan dari tempat lain, salah satunya dengan cara menyediakan ruang yang cukup untuk urban farming. Disana banyak kegiatan urban farming yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi green house (rumah kaca) untuk menjaga kelembaban suhu, mengingat Belanda merupakan negara 4 musim dengan cuaca yang berubah setiap saat. Tanaman yang dibudidayakan pun tidak sebatas wortel dan bawang, tetapi kebutuhan pangan lainnya yang diperlukan oleh penghuni kawasan tersebut. 

8. Plots are self-reliant: tidak hanya self-sufficient di bidang pangan, Almere Oosterwold juga didesain untuk mampu memenuhi kebutuhan kawasan tersebut secara mandiri, seperti kebutuhan energi, panas (melalui solar panel), kincir angin untuk memenuhi kebutuhan listrik dan heat. 

9. Every plot development is financially self reliant: tidak ada subsidi sama sekali dari Pemerintah, kecuali komponen penting kawasan seperti ruas jalan dan penyediaan air bersih. 

10. Public investments are subsequent: mengingat minimnya keterlibatan pemerintah dalam pembangunan kawasan, penghuni kawasan perlu menggandeng investor untuk membangun kawasannya menjadikan tempat yang layak untuk dihuni. 

Lebih lanjut, Cossee juga menjelaskan bahwa perencanaan atau urban planning di Belanda selama ini cenderung bersifat top down. Bahkan, sampai sebelum Tahun 1900, pemerintah sama sekali tidak terlibat dalam perencanaan suatu kawasan. Housing pada saat itu semata menjadi produk ekonomi yang dikuasai oleh land owner, farmer, dan companies. Masalah pun muncul seperti kekurangan hunian serta menurunnya kualitas perkotaan. 

Housing law pertama kali diterbitkan di Belanda pada Tahun 1901, dimana good houses are remedy against poverty. Pemerintah mulai terlibat secara aktif dalam urban planning dan housing sejak Abad 20, dimulai dengan penataan kawasan pertama kali di Den Haag pada Tahun 1908 dan diduplikasi di Amsterdam pada Tahun 1917 dengan mengadopsi ide garden city yang dicetuskan oleh Ebenezer Howard. 

Urban planning pada Tahun 1945 – 1965 mengalami rekonstruksi setelah Perang Dunia, dan menjadi penanda dimulainya teknologi baru di bidang konstruksi seperti concrete, glass dan baja. Planning dibuat secara repetisi, dengan karakteristik light, spacey, dan jalur terpisah antara transportasi, living, and leisure. Problem yang kemudian muncul adalah boring, tidak bersifat personal, dan tercipta kekosongan karena monotonous tersebut. 

Konsep baru dikenalkan pada tahun 1990 yang disebut Vinex District. Expansion of the city. Pada saat itu, new district and houses were needed disebabkan adanya penambahan populasi penduduk. Pemerintah mulai fokus pada pemenuhan kebutuhan rumah yang didesain oleh developer dan perusahaan swasta. Akan tetapi, keterlibatan penghuni dalam pengembangan kawasannya masih sangat minim. 

Vinex City yang terinspirasi dari Garden City (Cossee, 2017) 

Perencanaan kota yang terus mengalami perkembangan menjadikan Almere-Oosterwold sebagai sesuatu yang baru, menarik, dan menantang at the same time. Almere-Oosterwold mendefinisikan ulang peran pemerintah dalam perkembangan kota dan bagaimana penghuni bisa ikut berpartisipasi dalam merencanakan ruangnya. Common components only developed when they needed. Tidak adanya aturan mengenai zoning menciptakan satu varian baru perencanaan kawasan yang berbeda dengan pakem yang sudah ada sebelumnya. 

Results 

Prinsipnya simpel. You can do almost everything you want, but you have to organize everything yourself. Di satu sisi, memberikan kebebasan untuk semua kemungkinan desain yang diinginkan. Di sisi lain, semua komponen penting seperti infrasruktur, suplai energi, waste disposal, penyimpanan air, dan taman bermain juga perlu dibangun. They are not only build a house, but a neighborhood instead. Seperti menciptakan percikan kejutan tiap kali muncul ide dan gagasan baru untuk diterapkan pada kawasan tersebut, yang dibangun secara berkelanjutan dan bersama-sama oleh penghuninya, sehingga menciptakan sense of belonging yang kuat. Tujuannya hanya satu, to create a diverse living and working landscape yang berjalan secara selaras dengan kewajiban, without harming others

Almere-Oosterwold (www.nytimes.com) 

"In the end, or society will be defined not only by what we create, but what we refuse to destroy.” John Sawhill. 


Sumber: 

www.mvrdv.nl 

www.nytimes.com 

(Cosse. 2011: Municipality of Almere) 


Ditulis oleh: 

Reniati Utami (JFT TBP Muda di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) IG: reniuta, LinkedIn: Reniati Utami 





Share this post:  
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment