Tuesday, November 21, 2017

Platform Inovasi untuk Kota/Wilayah: Belajar dari kota Amsterdam

https://twitter.com/kota_jogja/status/583740451951288320

Suatu siang di sebuah pasar tradisional, dua simbok-simbok pedagang sedang berbincang dengan asyiknya.
Oalah mbok, akhir-akhir ini kok daganganku ngga selaris dulu ya?” Keluh Mbok Prapti sambil ngelinting rokok wismilak ijo kesukaannya itu.

Lha ya tho mbokdhe, ini daganganku juga sepi. Pelanggan-pelanggan yang dulu ngga tau lari kemana.” Mbok Giyem menjawab sambal ngipas-ngipas buah-buahan dan sayuran yang dikerubutin oleh banyak lalat ijo itu. Ia pun lanjut bertanya ke Mbok Prapti, “Terus itu ayam-ayamnya diapain biasanya kalo ngga kejual mbok?”
“Ini biasanya tak jual ke pawang biawak sama buaya, tapi ya harganya tak turunin, lha wong udah ngga seger lagi. Kita kan kalo nyari rejeki ya pakek cara yang baik. Tapi ya ada yang rada nakal, ayamnya dikasih air biar kelihatan gedhe dan seger terus, padahal itu ayam udah seminggu yang lalu ngga kejual-jual.” Jawab Mbok Prapti sambil nyedot rokok lintingannya. Klepuss…klepuss…

Wee ladalah, kalo gitu namanya ngga barokah itu duit dagangannya, kalo kata pak Kyai itu, naudubilah.” Balas Mbok Giyem dengan mulut yang monyong-monyong karena geram dengan aksi demikian.
Mulutnya pun makin monyong saat berkeluh tentang pelanggan yang hilang entah kemana. “Lha ya tho, dulu ibu-ibu yang nganter-jemput anak-anaknya sekolah di TK sama SD disitu itu biasanya mampir kesini, kalo ngga pas nganter ya pas jemput. Tapi kok sekarang ngga ada yang pada kesini tho ya? Satupun ngga ada lho. Ini yang beli dagangan buahku malah mbokdhe-mbokdhe sama pakdhe-pakdhe yang udah tua-tua itu, katanya mau buat cucu-cucunya. Ini gimana tho ya, ak jadi bingung. Tapi ya Alhamdulillah masih dagangan masih laku, dapur masih bisa ngebul walaupun makannya diirit-irit.”

Lha ngga tau tho mbokdhe! Ak ya bingung. Ini malah biawak sama buaya yang doyan sama ayam-ayamku. Mungkin ibu-ibu jaman now itu udah ngga mau ke pasar kayak ginian, Mbok. Apalagi dagangan kita dilalatin kayak gini. Kalo katanya Tukul itu, ngga higenish!” Jawab Mbok Prapti sambil menirukan gaya Tukul Arwana, monyongin mulut sambil diusap-usap pakai tangannya.
“Hahahahahaha”. Mbok Giyem ngakak melihat gaya Mbok Prapti yang menirukan gaya Tukul Arwana itu. Keduanya pun akhirnya ngakak bersama.

Klepuss…setelah sekali nyedot rokoknya, Mbok Prapti melanjutkan pernyataannya, “Mungkin ya gara-gara jaman sekarang, udah canggih. Apalagi semua bisa diatur lewat hape itu. Ponakanku itu, kelas 2 SMA sekarang kalo beli kaos itu udah tinggal lewat hape itu aja. Nunggu sehari, barangnya tiba-tiba sampai. Lha ak ya cuma bengong. Kok bisa gitu. Dia ngga kemana-mana, barangnya malahan yang nyamperin ke dia. Lha edan  tho itu!!”
Sontak Mbok Giyem pun membalas, “Wooo…lha mungkin gara-gara itu dagangan kita sekarang sepi pelanggan Mbok!!! Ibu-ibu yang di TK sama SD itu udah males mungkin ya ke pasar buat beli barang-barang. Lah tapi, ini dagangan kita kan buah, sayur, sama ayam. Terus kok sepi ya?”

“Nhaa, sekarang itu, mungkin mereka juga mikir, mending beli di supermakret daripada di pasar ini. Jauh lebih higenish dan mungkin harganya juga udah ngga beda jauh. Tapi ya ngga tau.” Nah kalo menurutku lho ya, aku udah jualan disini 30 tahunan. Pasar ini ya masih gini-gini aja. Aku ya pengen pasar ini bisa lebih higenish, teratur, bersih. Jadi pelanggan juga enak kesini. Apalagi kalo dagangan kita ini dikemas gimana caranya biar kelihatan menarik gitu lho.” Mbok Prapti terlihat serius menuturkan gagasannya.
“Nah iya, setuju itu kalo kayak gitu. Aku walaupun baru 25 tahun jualan disini, aku ya merasakan kalo emang kurang nyaman pasar ini. Tapi ya gimana lagi, kita rakyat jelata gini bisa apa, punya apa. Yang penting dapur ngebul tho, walaupun pendapatan turun. Tapi kalo seandainya, entah gimana caranya, aku pengen caranya itu kayak ponakanmu itu tadi lho. Pelanggan itu tinggal lewat hape tadi aja itu bisa beli dagangan kita. Jadinya kan buah-buah sama sayur-sayur ini kan tinggal aku kiloin di rumah, aku titipin cucuku buat dikirimken ke pelanggannya. Di rumah kan aku malah bisa nyambi bikin adonan buat gorengan gitu tho. Tapi ya harus bisa mainan hape dulu.” Saut Mbok Giyem sambil ngunyah daun sereh kesukaannya.

Lha iya tho, kalo gitu kan apik tho. Tapi ya mau gimana, kita orang cilik ngga punya kuasa apa-apa. Pak Wali, Pak Gub, Pak Presiden pun ya ngga bakal denger kita tho. Gimana caranya denger kita juga, lha wong kita ngobrolnya disini, kuping mereka di kantor-kantor apik-apik itu. Hahahaha.” Kata Mbok Prapti.
Obrolan ngalor ngidul siang itupun ditutup dengan tawa lepas keduanya yang membayangkan kuping para pemimpin itu bisa melayang kemana-mana, seperti yang ada di serial TV ind*siar itu.

Perbincangan dari kedua simbok-simbok di pasar tradisional itu merupakan salah satu bentuk refleksi dari ketiadaan sebuah wadah bagi mereka untuk menyalurkan ide dan gagasannya. Jika kita jeli dalam membaca cerita di atas. Setidaknya ada 3 gagasan yang disampaikan oleh kedua simbok-simbok tua itu. Dua gagasan muncul dari Mbok Prapti dan sisanya dari Mbok Giyem. Gagasan pertama yaitu tentang pasar yang lebih higenish, teratur, bersih. Kedua tentang dagangan yang bisa dikemas agar lebih menarik. Dan yang terakhir, gagasan tentang pembuatan toko online khusus untuk pedagang pasar. Walaupun cerita dan gagasan itu hanya fiktif belaka, namun, dari pengalaman penulis, banyak orang-orang, paling tidak, di kalangan akar rumput di pasar tradisional yang punya pemikiran-pemikiran yang ciamik. Dan akhirnya, kita malah banyak belajar dari mereka. Terkait dengan tiga gagasan dari Mbok Prapti dan Mbok Giyem tadi, pada akhirnya mereka bingung mau memberikan gagasan itu ke siapa. Hingga akhirnya berkelakar tentang pemimpin-pemimpin mereka.
Hal inilah yang hingga sekarang para pihak di kota/wilayah tidak menyadarinya. Ada gap antara apa yang dilakukan oleh Pemerintah dengan kebutuhan masyarakatnya sendiri. Terkadang, apa yang dilakukan oleh Pemerintah tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh “pasar” (yang dimaksud pasar disini adalah pihak-pihak swasta dan masyarakat, bukan pasar tradisional). Terkadang juga, solusi yang diberikan oleh Pemerintah tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan, karena masyarakat sebagai pengguna tidak mau menggunakannya. Ambil saja contoh Blok G Pasar Tanah Abang yang merupakan wadah bagi para PKL Tanah Abang. Banyak ruang di Blok itu yang tidak laku dan kosong sama sekali. Kalaupun ada, juga tidak berjalan secara kontinyu. Akhirnya sia-sia juga uang rakyat yang telah digunakan untuk program-program “pro rakyat” yang tidak diterima rakyatnya sendiri.

Program-program yang dikerjakan oleh pemerintah juga banyak yang tidak mengikuti perkembangan jaman saat ini. Penggunaan teknologi digital, internet, sosial media, online platform, co-working space, e-commerce, crowdfunding, hingga jasa endorse selebgram adalah segelintir dari banyaknya metode-metode dan cara-cara baru yang menjadi tren saat ini. Tentu saja sangat sedikit dari orang Pemerintahan yang mencoba untuk mengaplikasikan itu untuk pembangunan kota/wilayahnya. Hal ini karena Pemerintah yang sudah terlanjur bekerja berdasarkan sistem birokrasi yang cenderung kurang dinamis dan fleksibel. Sehingga banyak dari orang Pemerintahan yang cenderung hanya mengerjakan hal-hal yang bersifat rutinitas, dimana pada akhirnya tingkat kreativitas mereka menjadi berkurang. Namun demikian, ada juga sebagian orang Pemerintahan yang berani mengambil langkah untuk memperjuangkan cara-cara baru itu dan mengaplikasikannya ke dalam program-program Pemerintah. Apalagi kalau pemimpinnya ciamik.

The Missing Link
https://t4.ftcdn.net/jpg/00/05/00/85/240_F_5008586_SvwxuR6BFbGIl5yGyoXt1fd8250TaDut.jpg

Ketidaksambungan antara program Pemerintah dan kebutuhan atau permasalahan ”pasar” (swasta dan masyarakat) inilah yang menyebabkan banyaknya program-program yang “gagal”. Selain itu, hal ini disebabkan gagasan-gagasan pembangunan, sebagian besar, hanya berasal dari Pemerintah saja. Walaupun memang sudah ada Musrenbangdes, Musrenbangkec, hingga Musrenbangkab/kot, yang merupakan forum penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan selama 1 tahun kedepan. Namun, program-program yang merupakan kebutuhan masyarakat yang disalurkan melalui Musrenbang-Musrenbang yang diadakan sekali dalam setahun itupun pada akhirnya hanya dieksekusi oleh Pemerintah. Sangat minim masyarakat yang dilibatkan untuk diskusi dalam tahap persiapan, perencanaan, hingga implementasi program/proyek itu. Ditambah lagi dengan anggaran yang hanya bisa diprogramkan selama 1 tahun dan hanya dapat direvisi sekali dalam tahun anggaran yang sama. Hal itu membuat birkorasi Pemerintahan sangat tidak dinamis dan fleksibel. Padahal kebutuhan masyarakat kota/wilayah sangat dinamis, sehingga membutuhkan sistem yang fleksibel untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Apalagi tantangan untuk mengikuti perkembangan jaman terus menyelimuti, jika tidak, sebuah kota/wilayah akan tertinggal.

Maka dari itu, perlu dibentuk sebuah wadah untuk menyambungkan antara program Pemerintah dengan kebutuhan “pasar”. Di dalam wadah tersebut, seluruh pihak yang ada di dalam kota dapat saling bertemu dan berkolaborasi untuk menginisiasi sebuah gagasan yang nantinya akan menjadi program/proyek bersama, tidak hanya Pemerintah saja. Pihak-pihak yang ada di dalam wadah dapaet meliputi pemerintah, swasta, LSM, komunitas, universitas/institusi pengetahuan, hingga masyarakat individual. Di dalamnya, tiap pihak dapat memberikan ide-ide solutif untuk menanggulangi masalah maupun memenuhi kebutuhan mereka di dalam kota/wilayah itu. Sehingga setiap pihak yang tertarik pada ide tertentu dapat membantu ide tersebut untuk terlaksana. Bantuan tersebut bisa berupa pemikiran dalam tahap konsepsi ide; berbagi kenalan yang bisa turut serta membantu ide itu; hingga bantuan finansial. Pada akhirnya, ide yang telah siap untuk diimplementasikan, dapat dites di salah satu area. Masyarakat di dalam dan sekitar area itupun dapat langsung menanggapi dan bahkan turut serta secara aktif untuk memodifikasi ide itu, hingga pada akhirnya hasil dari ide itu dapat terlaksana dengan baik di area itu dan dicoba untuk area yang lain. Dengan cara itu, hasil akhir ide itu, baik berupa produk maupun servis, dapat berjalan secara kontinyu karena itu semua berasal, oleh, dan untuk masyarakat. Sama dengan prinsip demokrasi.

Stakeholder Dalam Amsterdam Smart City
amsterdamsmartcity.com

Hal itu telah diterapkan di kota Amsterdam melalui program Amsterdam Smart City sejak tahun 2009, dimana 4 partner utama (pemerintah, swasta, universitas, dan komunitas yang berasal dari masyarakat) menjadi pilar utamanya. Di dalamnya, semua pihak baik yang berasal dari dan luar kota Amsterdam dapat membagi ide-idenya untuk menangulangi permasalahan kota Amsterdam. Saat ini hingga 3.750 orang yang berasal dari berbagai negara, turut serta dalam platform online Amsterdam Smart City. Bayangkan saja, 3.750 orang dari berbagai belahan dunia memberikan ide-ide solutif mereka untuk kota Amsterdam. Tak heran apabila, banyak inovasi yang terlahir dari platform Amsterdam Smart City ini. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai platform ini, Anda bisa mengakses www.amsterdamsmartcity.com. Yang perlu ditekankan adalah, ini bukan program smart city biasa, yang mencoba untuk mengadopsi teknologi digital untuk meningkatkan pelayanan dan menanggulangi permasalahan kota. Melainkan, Amsterdam Smart City fokus kepada prinsip kolaboratif untuk meningkatkan pelayanan dan menanggulangi permasalahan kotanya. Bahkan mereka menyatakan bahwa teknologi bukanlah tujuan utama dalam program ini, melainkan hanya sebagai instrumen untuk menuju tujuan akhir program, yakni untuk bisa membuat kota Amsterdam sesuai dengan kebutuhan di masa depan melalui berbagai macam inovasi. Hal inilah ejawantah dari istilah smart dalam Amsterdam Smart City.
Muka Depan Platform Online Amsterdam Smart City
Amsterdamsmartcity.com


Untuk itu, diperlukan sistem yang dinamis dan fleksibel. Amsterdam Smart City pun menggunakan prinsip dasar itu, dimana tiap ide yang sudah dalam tahap siap dites dapat diaplikasikan di area manapun di Amsterdam tanpa harus menunggu dokumen perencanaan maupun izin-izin lain. Amsterdam percaya bahwa tiap hal yang baru patut untuk dicoba dan dites di lapangan. Mereka percaya bahwa membangun kota itu harus secara learning by doing, sehingga mereka dapat mengetahui kekurangan dari hasil idenya, dan memperbaikinya secepat mungkin. Jadi ya jangan heran kalau mereka bisa membuat sebuah kota di bawah permukaan air laut, membangun terowongan kereta bawah tanah tanpa pernah ada banjir, dan segala teknologi serta hal-hal inovatif lain yang berkesan bagi kita ketika mengunjungi kota itu. Semua tidak ada yang tidak dilakukan secara sengaja, semuanya dipersiapkan secara bertahap, dengan prinsip learning by doing, learning from mistake, fill fast learn fast.

Nah, kalau misalnya platform yang sama bisa diaplikasikan di kota/wilayah di Indonesia, maka banyak masyarakat yang dapat menyalurkan ide solutifnya hingga mengembangkannya menjadi sebuah produk atau servis yang menjadi solusi (sebenar-benarnya) di lapangan. Sehingga 3 gagasan Mbok Prapti dan Mbok Giyem tadi kan jadinya bisa tersalurkan. Siapa tau Mbok Prapti dan Mbok Giyem nanti akhirnya punya Start-Up bernama “Ayam Sayur”, dengan kemasan produknya ala Giant, dari hasil gagasan mereka yang dikembangkan di dalam platform itu. Mungkin saja mereka jadi selebgram gara-gara mengendorse dagangan-dagangannya. Tak lupa juga, pasar tradisionalnya jadi (sebenar-benarnya) pasar rakyat, karena ide-ide desain, ukuran, hingga materialnya berasal dari rakyat sendiri. Jangan-jangan, pasar tradisionalnya malah jadi co-working space dan area gudang untuk banyak Start-Up, karena para pedagangnya beralih berjualan online. Bayangkan saja, Mbok Prapti yang sudah tua itu duduk di atas kursi kerja, mantengin laptop sambil nyedot rokok wismilak ijonya. Sedangkan Mbok Giyem sibuk dengan hape nya untuk mengelola orderan sambil ngunyah-ngunyah daun serehnya, hahahahaha

Pemberitahuan:

-    Informasi mengenai Amsterdam Smart City didapatkan penulis dari sumber wawancara dan penelaahan dokumen terkait. Saat ini penulis sedang meneliti tentang interaksi antara smart city dan manajemen lingkungan; serta sistem inovasi kota. Keduanya mengambil area studi di Amsterdam dengan kasus Amsterdam Smart City.

-    Penamaan tokoh dan cerita yang sama, sama sekali tidak disengaja. Keduanya hanya fiktif belaka untuk menjadi contoh dan cerita pendukung untuk menjelaskan esensi ide dalam tulisan ini.

Ditulis oleh: Zulfikar Dinar Wahidayat Putra
Mahasiswa Master of Urban Environmental Management, Wageningen University
(email: zulfikar.dinar@gmail.com)


Share this post:  
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment